MAHABBAH DAN MA’RIFAT
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu
Tugas Persentasi Mata Kuliah
Akhlak Tasawuf
Dosen Pembimbing : Drs. Tarpin,
M.Ag.
Oleh :
AMIR SYAM
0312769
PROGRAM
STUDI MANAJEMEN KEPENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM DARUNNAJAH
JAKARTA
2014 M /
1435 H
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mahabbah” adalah cinta, atau cinta yang
luhur kepada Tuhan yang suci dan tanpa syarat,tahapan menumbuhkan
cinta kepada Allah, yaitu: keikhlasan, perenungan, pelatihan spiritual,
interaksi diri terhadap kematian, sehingga tahap cinta adalah tahap tertinggi
oleh seorang ahli yang menyelaminya.
Sebagaimana yang kita
ketahui banyak jalan untuk mencapai ma’rifat, diantaranya adalah Takhalli,
Tahalli dan Tajalli sehingga seorang sufi mahabbah (kecintaan dengan
Allah), yang tujuannya untuk mencapai ma’rifatullah.
Sedangkan Ma’rifah ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh
melalui akal. Dalamkajianilmutasawuf “Ma’rifat”
adalahmengetahuiTuhandaridekat, sehinggahatisanubaridapatmelihatTuhan”.
Menurutshufijalanuntukmemperolehma’rifahialahdenganmembersihkanjiwanyasertamenempuhpendidikanshufi
yang merekanamakanmaqamat, sepertihidupzuhud, ibadahdanbarulahtercapaima’rifat.
Padamakalahinisayaakanmembahastentangmahabbah dan
ma,rifat yang
menjadipuncaknyailmutasawufpadagolongansufi. Banyakkaumsufiinginmenggapainya,
bahkankaumawamjugamempunyaikeinginanmencapai mahabbah dan ma’rifat.
Jikaseseorangsudahmencapaimahabbah dan
ma’rifat, maka orang tersebuttidakadabatasuntukmengenal
sang Kholiknya.
B. Rumusan masalah
a. Apa pengertian dari Mahabbah dan Ma’rifat itu sendiri
MAHABBAH DAN MA’RIFAT
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mahabbah
Mahabbah berasal dari
kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara
mendalam. Dalam mu’jam al-falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah
lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al mahabbah dapat pula
berarti al wadud yakni yang sangat kasih atau penyayang.
Mahabbah pada tingkat
selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk
mencapai tingkat ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang Mutlak,
yaitu cinta kepada Tuhan.
Pengertian mahabbah
dari segi tasawwuf ini lebih lanjut dikemukakan al Qusyairi sebagai berikut:
“almahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya
adalah disaksikannya (kemutlakkan) Allah swt oleh hamba, selanjutnya yang
dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang
hamba mencintai Allah swt”.
Antara mahabbah dan
ma’rifah ada persamaan dan perbedaan. Persamaannya Tujuannya adalah untuk
memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi
hanya dirasakan oleh jiwa.
Selain itu juga
mahabbah merupakan hal keadaan mental seperti senang, perasaan sedih, perasaan
takut dan sebagainya. Mahabbah berlainan dengan maqam, hal bersifat sementara,
datang dan pergi bagi para sufi dalam perjalanan mendekatkan diri pada Allah
swt menggambarkan keadaan dekatnya seorang sufi dengan Tuhan. Perbedaannya
mahabbah menggambarkan hubungan dengan bentuk cinta, sedangkan ma’rifah
menggambarkan hubungan dalam bentuk pengetahuan dengan hati sanubari.
a.
Dasar Mahabbah
Banyak sekali yang
mendasari paham mahhabbah baik itu dari Al-Qur’an, hadis maupun dari sahabat
dan ulama. Untuk itu mari kita perhatikan sebagai berikut:
“Hai orang-orang
yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak
Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun
mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang
bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan
yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah,
diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Al Maidah 5 : 54).
Firman Allah SWT,
“Katakanlah, “Jika
kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan
mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S.
Ali Imran 3 : 31).
Sabda Rasulullah SAW,
Diriwayatkan oleh Abu Hurayrah bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Barangsiapa
yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah akan senang bertemu dengannya. Dan
barangsiapa yang tidak senang bertemu dengan Allah, maka Allah pun tidak akan
senang bertemu dengannya” (H.R. Bukhari).
b.
Tingkatan Mahabbah
Abu Nasr as Sarraj
at-Tusi seorang tokoh sufi terkenal membagi mahabbah kepada tiga tingkat :
a. Mahabbah orang biasa, yaitu orang
yang selalu mengingat Allah SWT dengan zikir dan memperoleh kesenangan dalam
berdialog dengan-Nya serta senantiasa memuji-Nya,
b. Mahabbah orang siddik (orang
jujur, orang benar) yaitu orang yang mengenal Allah tentang kebesaran-Nya,
kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya. Mahabbah orang siddik ini dapat menghilangkan
hijab, sehingga dia menjadi kasysyaf, terbuka tabir yang memisahkan diri
seseorang dari Allah SWT. Mahabbah tingkat kedua ini sanggup menghilangkan
kehendak dan sifatnya sendiri, sebab hatinya penuh dengan rindu dan cinta
kepada Allah,
c. Mahabbah orang arif, yaitu
cintanya orang yang telah penuh sempurna makrifatnya dengan Allah SWT. Mahabbah
orang arif ini, yang dilihat dan dirasakannya bukan lagi cinta, tetapi diri
yang dicintai. Pada akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang
mencintai. Cinta pada tingkat ketiga inilah yang menyebabkan mahabbah orang
arif ini dapat berdialog dan menyatu dengan kehendak Allah SWT.
c.
Kiat Menggapai Mahabbah
Allah Swt.
- Membaca Al-Qur’an dengan mencerna dan memahami kandungan dan maksudnya.
- Melakukan shalat sunnah peyerta shalat fardhu. Sebab hal ini menghantarkan kepada tingkatan mahbub (tercinta) setelah fase mahabbah (kecintaan).
- melanggengkan dzikrullah dalam segala kondisi; baik dengan lisan, hati ataupun tindakan. Maka ia akan mendapatkan mahabbah sebesar kadar dzikirnya.
- Lebih mendahulukan apa yang dicintai Allah daripada cinta hawa nafsunya walau hal itu amat berat.
- Menghayati sifat dan asma Allah, meyakininya dan mengetahuinya. Lalu dia berkubang dalam ilmunya tersebut. Siapa saja yang mengetahui Allah; baik asma, sifat dan af’alNya maka Allah pasti mencintainya.
- Bersaksi dan mengakui kebaikan Allah, anugerah dan segala nikmatNya; baik yang jelas atau yang tersamar. Sungguh hal ini akan mendatangkan mahabbah kepadaNya
- Yaitu sebab yang paling menakjubkan , yakni kekhusyu’an hati secara keseluruhan di hadapan Allah.
- Menyendiri dan menyepi -saat Allah turun ke langi bumi- untuk bermunajat kepadaNya, membaca kalamNya, menghadap sepenuh hati dan sopan dalam beribadah di hadapanNya. Kemudian diakhiri dengan istighfar dan taubat.
- Suka berkumpul dengan para pendamba mahabbah yang jujur, hingga dapat memetik ucapan baik mereka. Lalu menjadikan kita tidak berbicara kecuali dengan yang berguna bagi diri kita dan orang lain.
- Menajuhi segala faktor yang menghalangi hati dengan Allah. Sebab, jika hati seseorang rusak maka ia tak akan dapat memtik manfaat dari kehidupan dunia dan akhiratnya.
d.
Tokoh Sufi Mahabbah dan Ajarannya
Aliran sufi mahabbah
dipelopori dan dikembangkan oleh seorang sufi wanita bernama Rabiah al-Adawiah,
ia lahir di Basrah pada tahun 714 M. Di antara doa-doa yang tercatat berasal
dari Rabiah ada doa yang dipanjatkannya pada waktu larut malam, di atas atap
rumahnya “Tuhanku, binatang-binatang bersinar gemerlapan, manusia sudah tidur
nyenyak, dan raja-raja telah menutup pintunya, tiap orang yang bercinta sedang
asyik masuk dengan kesayanganya, dan disinilah aku sendiri bersama Engkau’
B. Pengertian Ma’rifah
Ma’rifah
adalah ketetapan hati yang dalam mempunyai hadirnya wujud yang wajib adanya
yang menggambarkan segala kesempurnaan. Ma’rifah kadang-kadang dipandang
sebagai maqam yang terpandang sebagai hal.
Rasulullah SAW
bersabda:
“Siapa yang mengenal dirinya,
sesungguhnya dia dapat mengenal Tuhannya Zunnun Al-Mishry berkata, Aku kenal
Tuhanku juga, Kalau tidak dengan Tuhanku aku tidak mengenal Tuhanku”
Pengetahuan orang awam
tentang Allah pada dasarnya adalah pengetahuan yang diterima dari ajaran agama
tanpa memerlukan pembuktian melalui logika. Pengetahuan tentang Tuhan diperoleh
dengan perantaraan ucapan dua kalimat syahadat. Pengettahuan ulama mementingkan
dalil dan logika. Baik pengetahuan orang awam maupun pengetahuan ulama tentang
Allah disebut sebagai ilmu bukan ma’rifah.
Para sufimengatakanperihalMa’rifatadalah :
1. Kalaumatadalamhatisanubarimanusiaterbuka,
matakepalanyaakantertutupdanketikaitu yang dilihatnyahanyalah Allah.
2. Makrifatadalahcermin, yang mana yang dilihatnyahanyalah Allah.
3. Yang dilihat orang arifsaattidurdanbangunhanyalah Allah.
4. SekiranyaMa’rifatmengambilbentukmateri, semua orang yang
melihatnyaakanmatikarenatidaktahanmelihatkecantikandanbentukkeindahannya.
Dikemukakan
al-Kalazabi, ma’rifat datang sesudah mahabbah, karena ma’rifat lebih mengacu
pada pengetahuan sedangkan mahabbah menggambarkan kecintaan.
Dalam kitab
Al-Mahabbah, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah puncak
dari seluruh maqam spiritual dengan derajad/level yang tinggi. "(Allah)
mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya”. Ma’rifat merupakan karunia
pemberian langsung dari Allah, maka ia sekali-kali tidak bergantung pada banyak
atau sedikitnya amal kebaikan. Ma’rifatadalahanugerah Allah yang didasarikasihTuhankepadahamba-Nya.
AdapunamalibadahsebagaipersembahanhambakepadaTuhannya.
a. Adapuncara-carauntukdapatmenujuMahabbahdanMa’rifatadalah
:
1. Tobat, baik dari dosa besar maupun dosa kecil
2. Zuhud, yaitu mengasingkan diri dari dunia ramai
3. Wara (sufi), mencoba meninggalkan segala yang di
dalamnya terdapat shubhat
4. Faqir, hidupsebagai orang fakir
5. Sabar, dalammenghadapisegalamacamcobaan
6. Tawakkal, menyerusebulat-bulatnyapadakeputusanTuhan
7. Ridha, merasasenangmenerimasegalatakdir.
C. Hubungan
mahabbah dan Ma’rifah
Mahabbah senantiasa didampingi oleh
ma'rifah. Mababbah dan mari'fah merupakan kembar dua yang selalu disebut
bersama. Keduanya menggambarkan hubungan rapat antara sufi dan Tuhan.
Sebagaimana halnya dengan mababbah, mari'fah juga terkadang dipandang sebagai
maqam terkadang sebagai hal. Dalam hubungannya dengan maqamat, tentang urutan
antara mahabbah dan ma'rifah terjadi perbedaan. Ada yang mendahulukan mahabbah,
Ada pula yang mengatakan ma'rifah
datang lebih dulu. Sufi yang mendahulukan mahabbah menganggap bahwa mari'fah
adalah maqam yang tertinggi, yang bisa dicapai oleh orang yang telah cinta
kepada Allah. Allah tidak akan membukakan hijab-Nya jika seorang sufi belum
benar-benar cinta kepada-Nya.
Sedangkan sufi yang mengatakan bahwa
ma'rifah itu datangnya lebih dulu dari mahabbah, karena berpandangan bahwa
seorang sufi harus mengenal Tuhan sebelum mencintai-Nya. Orang yang tidak
mengenal-Nya tidak mungkin mencintai-Nya.
Menurut Titus Burckhardt, sebenarnya
tidak ada pemisahan sepenuhnya antara kedua modus rohani ini. Pengetahuan
tentang Tuhan melahirkan cinta, sementara cinta mensyaratkan adanya pengetahuan
mengenai objek cinta. Objek cinta rohani adalah keindahan Tuhan. Dan objek
pengetahuan hati sanubari adalah kebenaran yang sebenarnya tentang Tuhan. Kebenaran
dan keindahan itu menjadi ukuran satu sama lain.
Harun Nasution menyebutkan bahwa
Rabi'ah, dengan pembagian dua cintanya, telah menggambarkan peralihan dari
mahabbah ke ma'rifah. Rasa cinta yang tulus kepada Tuhan dibalas Tuhan, yaitu
terbukanya tabir antara manusia dengan Tuhan, dan sufi pun melihat Tuhan dengan
mata hati.
Tentang mari'fah, Rabi'ah sendiri pemah berkata:
"Buah ilmu rohani adalah agar engkau palingkan mukamu dari makhiuk agar
engkau dapat memusatkan perhatianmu hanya kepada Allah saja, karena
mcl'rifahitu adalah mengenal Allah sebaik-baiknya."
Ketika Rabi'ah ditanya: "Apakah
kau melihat Tuhan yang kausembah?" Maka ia menjawab: "Jika aku tidak
melihat-Nya, maka aku tidak akan menyembah-Nya. Dari dua pernyataan Rabi'ah di
atas dan dua cinta Rabi'ah, dalam sudut pandang sebagai maqamat, maka
mahabbahberdampingan dengan ma'rifah. Kebersamaan dua maqam ini barangkali akan
lebih mudah dipahami jika kita kaitkan dengan pembagian ma'rifah oleh Dzu alNun
al-Mishri dan
mahabbah oleh al-Sarraj. Pada keduanya ada pembagian
dalam tiga tingkat.
Dzu al-Nun mengkiasifikasikan ma'rifah
kepada tiga tingkatan:
Ø Mari'fah
awam : mengetahui Tuhan dengan perantaraan ucapan syahadat.
Ø Ma'rifah
ulama : mengetahui Tuhan dengan logika akal.
Ø Ma'rifah
sufi : mengetahui Tuhan dengan perantaraan hati.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
Mahabbah
berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai
secara mendalam.Pengertian Mahabbah adalah cinta yang luhur, suci dan tanpa
syarat kepada Allah.
Ma’rifah dari segi bahasa berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifat
yang artinya pengetahuan dan pengalaman. Ma’rifat adalah pengetahuan yang
objeknya bukan padahal-hal yang bersifatzahir, tetapi lebih mendalam kepada bathin,
dengan mengetahui rahasianya.
Tujuan
Mahabbah adalah untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun
spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang
dicintainya, Sedang Ma’rifah bertujuan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan
melalui hati sanubari. Inti ajaran mahabbah adalah merupakan sikap dari jiwa yang
mengisyaratkan kepengabdian diri atau pengorbanan diri sendiri dengan cara mentransendenkan
ego, dan menggantinya dengan cinta.
Ma’rifah tidak diperoleh melalui
pemikiran dan penalaran akal, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan.
Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada Sufi yang sanggup menerimanya.
sembernya dari mana gan?
BalasHapusDikasih daftar rujukan donk gan, biar bisa buat perbandingan
BalasHapus