Senin, 06 Oktober 2014

MAKALAH MAHABBAH DAN MA'RIFAT


MAHABBAH DAN MA’RIFAT
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Persentasi Mata Kuliah
Akhlak Tasawuf

Dosen Pembimbing : Drs. Tarpin, M.Ag.





Oleh :
AMIR SYAM
0312769

PROGRAM STUDI MANAJEMEN KEPENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUNNAJAH
JAKARTA
2014 M / 1435 H
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Mahabbah” adalah cinta, atau cinta yang luhur  kepada Tuhan yang suci dan tanpa syarat,tahapan menumbuhkan cinta kepada Allah, yaitu: keikhlasan, perenungan, pelatihan spiritual, interaksi diri terhadap kematian, sehingga tahap cinta adalah tahap tertinggi oleh seorang ahli yang menyelaminya.
Sebagaimana yang kita ketahui banyak jalan untuk mencapai ma’rifat, diantaranya adalah Takhalli, Tahalli dan Tajalli sehingga seorang sufi mahabbah (kecintaan dengan Allah),  yang tujuannya untuk mencapai ma’rifatullah.
Sedangkan Ma’rifah ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalamkajianilmutasawuf “Ma’rifat” adalahmengetahuiTuhandaridekat, sehinggahatisanubaridapatmelihatTuhan”. Menurutshufijalanuntukmemperolehma’rifahialahdenganmembersihkanjiwanyasertamenempuhpendidikanshufi yang merekanamakanmaqamat, sepertihidupzuhud, ibadahdanbarulahtercapaima’rifat. 
Padamakalahinisayaakanmembahastentangmahabbah dan ma,rifat yang menjadipuncaknyailmutasawufpadagolongansufi. Banyakkaumsufiinginmenggapainya, bahkankaumawamjugamempunyaikeinginanmencapai mahabbah dan ma’rifat.
Jikaseseorangsudahmencapaimahabbah dan ma’rifat, maka orang tersebuttidakadabatasuntukmengenal sang Kholiknya.

B.     Rumusan masalah
a.       Apa pengertian dari Mahabbah dan Ma’rifat itu sendiri
b.      Apa hubungan antara mahabbah dan ma’rifah
MAHABBAH DAN MA’RIFAT
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Mahabbah
Mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam. Dalam mu’jam al-falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al mahabbah dapat pula berarti al wadud yakni yang sangat kasih atau penyayang.
Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang Mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan.
Pengertian mahabbah dari segi tasawwuf ini lebih lanjut dikemukakan al Qusyairi sebagai berikut: “almahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakkan) Allah swt oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah swt”.
Antara mahabbah dan ma’rifah ada persamaan dan perbedaan. Persamaannya Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dirasakan oleh jiwa.
Selain itu juga mahabbah merupakan hal keadaan mental seperti senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Mahabbah berlainan dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi bagi para sufi dalam perjalanan mendekatkan diri pada Allah swt menggambarkan keadaan dekatnya seorang sufi dengan Tuhan. Perbedaannya mahabbah menggambarkan hubungan dengan bentuk cinta, sedangkan ma’rifah menggambarkan hubungan dalam bentuk pengetahuan dengan hati sanubari.
a.      Dasar Mahabbah
Banyak sekali yang mendasari paham mahhabbah baik itu dari Al-Qur’an, hadis maupun dari sahabat dan ulama. Untuk itu mari kita perhatikan sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Al Maidah 5 : 54).
Firman Allah SWT,
Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Ali Imran 3 : 31).
Sabda Rasulullah SAW, Diriwayatkan oleh Abu Hurayrah bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Barangsiapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah akan senang bertemu dengannya. Dan barangsiapa yang tidak senang bertemu dengan Allah, maka Allah pun tidak akan senang bertemu dengannya” (H.R. Bukhari).
b.       Tingkatan Mahabbah
Abu Nasr as Sarraj at-Tusi seorang tokoh sufi terkenal membagi mahabbah kepada tiga tingkat :
a.  Mahabbah orang biasa, yaitu orang yang selalu mengingat Allah SWT dengan zikir dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan-Nya serta senantiasa memuji-Nya,
b.  Mahabbah orang siddik (orang jujur, orang benar) yaitu orang yang mengenal Allah tentang kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya. Mahabbah orang siddik ini dapat menghilangkan hijab, sehingga dia menjadi kasysyaf, terbuka tabir yang memisahkan diri seseorang dari Allah SWT. Mahabbah tingkat kedua ini sanggup menghilangkan kehendak dan sifatnya sendiri, sebab hatinya penuh dengan rindu dan cinta kepada Allah,
c.  Mahabbah orang arif, yaitu cintanya orang yang telah penuh sempurna makrifatnya dengan Allah SWT. Mahabbah orang arif ini, yang dilihat dan dirasakannya bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Pada akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai. Cinta pada tingkat ketiga inilah yang menyebabkan mahabbah orang arif ini dapat berdialog dan menyatu dengan kehendak Allah SWT.
c.        Kiat Menggapai Mahabbah Allah Swt.
  1. Membaca Al-Qur’an dengan mencerna dan memahami kandungan dan maksudnya.
  2. Melakukan shalat sunnah peyerta shalat fardhu. Sebab hal ini menghantarkan kepada tingkatan mahbub (tercinta) setelah fase mahabbah (kecintaan).
  3. melanggengkan dzikrullah dalam segala kondisi; baik dengan lisan, hati ataupun tindakan. Maka ia akan mendapatkan mahabbah sebesar kadar dzikirnya.
  4. Lebih mendahulukan apa yang dicintai Allah daripada cinta hawa nafsunya walau hal itu amat berat.
  5. Menghayati sifat dan asma Allah, meyakininya dan mengetahuinya. Lalu dia berkubang dalam ilmunya tersebut. Siapa saja yang mengetahui Allah; baik asma, sifat dan af’alNya maka Allah pasti mencintainya.
  6. Bersaksi dan mengakui kebaikan Allah, anugerah dan segala nikmatNya; baik yang jelas atau yang tersamar. Sungguh hal ini akan mendatangkan mahabbah kepadaNya
  7. Yaitu sebab yang paling menakjubkan , yakni kekhusyu’an hati secara keseluruhan di hadapan Allah.
  8. Menyendiri dan menyepi -saat Allah turun ke langi bumi- untuk bermunajat kepadaNya, membaca kalamNya, menghadap sepenuh hati dan sopan dalam beribadah di hadapanNya. Kemudian diakhiri dengan istighfar dan taubat.
  9. Suka berkumpul dengan para pendamba mahabbah yang jujur, hingga dapat memetik ucapan baik mereka. Lalu menjadikan kita tidak berbicara kecuali dengan yang berguna bagi diri kita dan orang lain.
  10. Menajuhi segala faktor yang menghalangi hati dengan Allah. Sebab, jika hati seseorang rusak maka ia tak akan dapat memtik manfaat dari kehidupan dunia dan akhiratnya.
d.      Tokoh Sufi Mahabbah dan Ajarannya
Aliran sufi mahabbah dipelopori dan dikembangkan oleh seorang sufi wanita bernama Rabiah al-Adawiah, ia lahir di Basrah pada tahun 714 M. Di antara doa-doa yang tercatat berasal dari Rabiah ada doa yang dipanjatkannya pada waktu larut malam, di atas atap rumahnya “Tuhanku, binatang-binatang bersinar gemerlapan, manusia sudah tidur nyenyak, dan raja-raja telah menutup pintunya, tiap orang yang bercinta sedang asyik masuk dengan kesayanganya, dan disinilah aku sendiri bersama Engkau’

B.     Pengertian Ma’rifah
Ma’rifah adalah ketetapan hati yang dalam mempunyai hadirnya wujud yang wajib adanya yang menggambarkan segala kesempurnaan. Ma’rifah kadang-kadang dipandang sebagai maqam yang terpandang sebagai hal.
Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa yang mengenal dirinya, sesungguhnya dia dapat mengenal Tuhannya Zunnun Al-Mishry berkata, Aku kenal Tuhanku juga, Kalau tidak dengan Tuhanku aku tidak mengenal Tuhanku”
Pengetahuan orang awam tentang Allah pada dasarnya adalah pengetahuan yang diterima dari ajaran agama tanpa memerlukan pembuktian melalui logika. Pengetahuan tentang Tuhan diperoleh dengan perantaraan ucapan dua kalimat syahadat. Pengettahuan ulama mementingkan dalil dan logika. Baik pengetahuan orang awam maupun pengetahuan ulama tentang Allah disebut sebagai ilmu bukan ma’rifah.
Para sufimengatakanperihalMa’rifatadalah :
1. Kalaumatadalamhatisanubarimanusiaterbuka, matakepalanyaakantertutupdanketikaitu yang dilihatnyahanyalah Allah.
2. Makrifatadalahcermin, yang mana yang dilihatnyahanyalah Allah.
3. Yang dilihat orang arifsaattidurdanbangunhanyalah Allah.
4. SekiranyaMa’rifatmengambilbentukmateri, semua orang yang melihatnyaakanmatikarenatidaktahanmelihatkecantikandanbentukkeindahannya.
Dikemukakan al-Kalazabi, ma’rifat datang sesudah mahabbah, karena ma’rifat lebih mengacu pada pengetahuan sedangkan mahabbah menggambarkan kecintaan.
Dalam kitab Al-Mahabbah, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah puncak dari seluruh maqam spiritual dengan derajad/level yang tinggi. "(Allah) mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya”. Ma’rifat merupakan karunia pemberian langsung dari Allah, maka ia sekali-kali tidak bergantung pada banyak atau sedikitnya amal kebaikan. Ma’rifatadalahanugerah Allah yang didasarikasihTuhankepadahamba-Nya. AdapunamalibadahsebagaipersembahanhambakepadaTuhannya.



a. Adapuncara-carauntukdapatmenujuMahabbahdanMa’rifatadalah :
1. Tobat, baik dari dosa besar maupun dosa kecil
2. Zuhud, yaitu mengasingkan diri dari dunia ramai
3. Wara (sufi), mencoba meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat shubhat
4. Faqir, hidupsebagai orang fakir
5. Sabar, dalammenghadapisegalamacamcobaan
6. Tawakkal, menyerusebulat-bulatnyapadakeputusanTuhan
7. Ridha, merasasenangmenerimasegalatakdir.

C.     Hubungan mahabbah dan Ma’rifah

Mahabbah senantiasa didampingi oleh ma'rifah. Mababbah dan mari'fah merupakan kembar dua yang selalu disebut bersama. Keduanya menggambarkan hubungan rapat antara sufi dan Tuhan. Sebagaimana halnya dengan mababbah, mari'fah juga terkadang dipandang sebagai maqam terkadang sebagai hal. Dalam hubungannya dengan maqamat, tentang urutan antara mahabbah dan ma'rifah terjadi perbedaan. Ada yang mendahulukan mahabbah,
Ada pula yang mengatakan ma'rifah datang lebih dulu. Sufi yang mendahulukan mahabbah menganggap bahwa mari'fah adalah maqam yang tertinggi, yang bisa dicapai oleh orang yang telah cinta kepada Allah. Allah tidak akan membukakan hijab-Nya jika seorang sufi belum benar-benar cinta kepada-Nya.
Sedangkan sufi yang mengatakan bahwa ma'rifah itu datangnya lebih dulu dari mahabbah, karena berpandangan bahwa seorang sufi harus mengenal Tuhan sebelum mencintai-Nya. Orang yang tidak mengenal-Nya tidak mungkin mencintai-Nya.
Menurut Titus Burckhardt, sebenarnya tidak ada pemisahan sepenuhnya antara kedua modus rohani ini. Pengetahuan tentang Tuhan melahirkan cinta, sementara cinta mensyaratkan adanya pengetahuan mengenai objek cinta. Objek cinta rohani adalah keindahan Tuhan. Dan objek pengetahuan hati sanubari adalah kebenaran yang sebenarnya tentang Tuhan. Kebenaran dan keindahan itu menjadi ukuran satu sama lain.
Harun Nasution menyebutkan bahwa Rabi'ah, dengan pembagian dua cintanya, telah menggambarkan peralihan dari mahabbah ke ma'rifah. Rasa cinta yang tulus kepada Tuhan dibalas Tuhan, yaitu terbukanya tabir antara manusia dengan Tuhan, dan sufi pun melihat Tuhan dengan mata hati.
Tentang mari'fah, Rabi'ah sendiri pemah berkata: "Buah ilmu rohani adalah agar engkau palingkan mukamu dari makhiuk agar engkau dapat memusatkan perhatianmu hanya kepada Allah saja, karena mcl'rifahitu adalah mengenal Allah sebaik-baiknya."
Ketika Rabi'ah ditanya: "Apakah kau melihat Tuhan yang kausembah?" Maka ia menjawab: "Jika aku tidak melihat-Nya, maka aku tidak akan menyembah-Nya. Dari dua pernyataan Rabi'ah di atas dan dua cinta Rabi'ah, dalam sudut pandang sebagai maqamat, maka mahabbahberdampingan dengan ma'rifah. Kebersamaan dua maqam ini barangkali akan lebih mudah dipahami jika kita kaitkan dengan pembagian ma'rifah oleh Dzu alNun al-Mishri dan
mahabbah oleh al-Sarraj. Pada keduanya ada pembagian dalam tiga tingkat.
Dzu al-Nun mengkiasifikasikan ma'rifah kepada tiga tingkatan:
Ø  Mari'fah awam : mengetahui Tuhan dengan perantaraan ucapan syahadat.
Ø   Ma'rifah ulama : mengetahui Tuhan dengan logika akal.
Ø    Ma'rifah sufi : mengetahui Tuhan dengan perantaraan hati.


















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
         Mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam.Pengertian Mahabbah adalah cinta yang luhur, suci dan tanpa syarat kepada Allah.
         Ma’rifah dari segi bahasa berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifat yang artinya pengetahuan dan pengalaman. Ma’rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan padahal-hal yang bersifatzahir, tetapi lebih mendalam kepada bathin, dengan mengetahui rahasianya.
         Tujuan Mahabbah adalah untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, Sedang Ma’rifah bertujuan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Inti ajaran mahabbah adalah merupakan sikap dari jiwa yang  mengisyaratkan kepengabdian diri atau pengorbanan diri sendiri dengan cara mentransendenkan  ego, dan menggantinya dengan cinta.
         Ma’rifah tidak diperoleh melalui pemikiran dan penalaran akal, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada Sufi yang sanggup menerimanya.

2 komentar: